Monday, September 15, 2014

Budaya Tulis Menulis Indonesia Rendah

Saya tidak bisa menulis.
Sungguh. Sejarah hidup saya jauh dari acara tulis menulis.  Saya pernah bermimpi menjadi penulis fiksi terkenal suatu hari nanti dan mampu menginspirasi banyak orang. Saya pernah berlagak sok pintar kala SMP, padahal sekolah saya berada di hutan. Hah, tentu saja saya lebih pintar daripada tumbuhan dan hewan yang menunggu hutan itu.  Ketika saya membaca buku-buku yang berkisah tentang Winnetou dan temannya si Old melintasi padang-padang prairi, mengayuh kano, menghilangkan jejak kuda, membunuh bison. Saya ingin pula kesana,
ikut serta berkelana. Membaca majalah horison kala itu, bertemu puisi-puisi ‘aneh’ yang tak bisa saya terjemahkan, atau membaca cerpen-cerpen abstrak nan menggelitik, ingin pula saya menjadi salah satunya. Menyukai guru saya yang pintar sekali matematika, sangat menyenangkan saat mengajar, meski takut dan mual, saya ingin menjadi seperti beliau. Ada banyak buku yang melambungkan imajinasi dan harapan, tapi tool di sekitar saya minim dan terbatas, belum lagi ketiadaan support orang-orang yang lebih dewasa pun guru-guru saya.
Saat saya SMA dan keluar hutan, dimana saya dapati ribuan siswa dalam satu sekolah, persaingan, pergaulan, perhatian guru begitu beragam. Inilah saya yang mulai menapaki hidup. Linglung. Akhirnya kesombongan yang saya banggakan di hutan lumer seketika. Melihat guru-guru yang memberi perhatian lebih pada salah satu-tiga siswa secara berlebih benar-benar baru bagi saya. Ini menubruk nurani dan hati kecil saya. Membuat saya berusaha menjauh, agar tak kena kontaminasi seperti itu.
Akhirnya terpuruk. Semakin menjauh, saya menghabiskan waktu di perpus dengan membaca. Mading hanya menerbitkan tulisan dari nama-nama yang sama. Lalu, apatah saya, anak udik jauh yang kian terpuruk dengan pikiran nylenehnya sendiri. Mau menulis tak berani, toh tak ada yang peduli. Saya melewati sekolah dengan datang,stay sampai siang terus pulang. Begitu tiga tahun lamanya. Saya kira sebagian guru juga melakukan hal yang sama. Datang, nyungsep di kantor, ngajar trus pulang (itu menurut penglihatan saya, di jaman saya sekolah dulu, dan di kala itu), ada juga guru yang punya prestasi di bidang olah raga. Beliau pergi kemana-mana, sampai  saat kami kelas 3 cuma belajar 3 kali dengan beliau, saat masuk kelas selanjutnya beliau cerita tentang perjalanannya dan mengajarkan kami lagu-lagu daerah. Padahal beliau mengampu salah satu pelajaran yang masuk Ujian Nasional.
Saya kurang tahu di sekolah lain, tapi di sekolah saya. budaya tulis menulis, berimajinasi dan menelurkan karya sangatlah minim support malah hampir tidak ada, saya dan kemungkinan besar sekolah saya turut melengkapi statistik betapa budaya menulis di Indonesia sangat rendah, tak ada support dan bimbingan secara terus menerus dari saat kita kecil membuat sebagian besar yang menyumbang angka  statistik ini, kelak, akan sempat merasa terlambat untuk memulai berkarya. jadilah vakum dan tak menyentuh sama sekali.
Saya pernah membaca tentang seorang guru di ujung perbatasan yang selalu support siswa-siswa beliau untuk menulis, dan beliau memfasilitasi pengiriman karya-karya mereka ke berbagai media. Kelak saya membaca bahwa salah satu siswa beliau memenangi kompetisi menulis tingkat nasional. Ini salah satu happy ending dari support seorang guru dan atas semangat serta motivasi yang tak henti.

Telah di publish juga di Kompasiana

No comments:

Post a Comment