Oleh: Umi Ayyash
Sudah seminggu lebih badanku panas tinggi. Temperatur tubuhku melambung bagaikan grafik sinus 360°, melambai turun naik seperti maraton di bukit barisan. Istriku yang mencintaiku setengah mati, apalagi kami sudah bersama empat tahun dan tak ada tanda-tanda kemunculan pewaris DNA. Tentu saja dia khawatir dengan kondisiku. Awalnya dikira demam biasa, minum oralit yang dia aduk-aduk sendiri pun jadi. Eh,
Ternyata demamnya tak turun-turun, setelah seminggu aku terkapar di tempat tidur dan kemul, dia dengan penuh cinta meminta tetanggaku mengantar ke puskesmas. Dengan motor. Badanku biru-biru begitu sampai, bukan apa-apa, kata bidan hanya malaria.
Pulang kerumah, istriku tak ada. Dia ngungsi ke tetangga, mencari wangsit obat malaria. Setelah kelayapan sampai malam lalu sibuk menemani tungku di dapur, dia datang ke tempat tidur.
´´Makan, Mas´´ Ucapnya, suaranya terdengar nelangsa.
´´Nggak mau, lidahku pahit´´ Jawabku sambil menarik kemul sampai kepala.
´´Kalau gitu minum aja´´.
Ia menarik keluar kepalaku, menyodorkan sebuah gelas yang membuatku curiga. Aku memperhatikan air mukanya, nelangsa. Capek menemaniku seminggu. Tak ada anak cucu kawan bermain pula. Aku harus sembuh, pikirku mensugesti diri. Dengan lambat kuseduh air hangat dalam gelas itu. Seketika otakku mencerna, begitu banyak kepahitan hidup yang telah aku dan kami alami bersama, tapi kenapa yang ini lebih kadarnya daripada yang sudah-sudah?
Mulutku menggembung bagai ikan buntal, mata ini terbelalak kaget. Kukembalikan isi mulutku ke gelas segera. ´´Apa ini, Dek?´´ Teriakku membahana.
Ia tersenyum disana, luwes, ayu, bikin ngilu melihatnya. ´´Itu air rebusan brontowali, Mas. Tadi dikasih tetangga buat ngebunuh malaria, tambah lagi ya?´´ Tanyanya tanpa dosa.
Ternyata demamnya tak turun-turun, setelah seminggu aku terkapar di tempat tidur dan kemul, dia dengan penuh cinta meminta tetanggaku mengantar ke puskesmas. Dengan motor. Badanku biru-biru begitu sampai, bukan apa-apa, kata bidan hanya malaria.
Pulang kerumah, istriku tak ada. Dia ngungsi ke tetangga, mencari wangsit obat malaria. Setelah kelayapan sampai malam lalu sibuk menemani tungku di dapur, dia datang ke tempat tidur.
´´Makan, Mas´´ Ucapnya, suaranya terdengar nelangsa.
´´Nggak mau, lidahku pahit´´ Jawabku sambil menarik kemul sampai kepala.
´´Kalau gitu minum aja´´.
Ia menarik keluar kepalaku, menyodorkan sebuah gelas yang membuatku curiga. Aku memperhatikan air mukanya, nelangsa. Capek menemaniku seminggu. Tak ada anak cucu kawan bermain pula. Aku harus sembuh, pikirku mensugesti diri. Dengan lambat kuseduh air hangat dalam gelas itu. Seketika otakku mencerna, begitu banyak kepahitan hidup yang telah aku dan kami alami bersama, tapi kenapa yang ini lebih kadarnya daripada yang sudah-sudah?
Mulutku menggembung bagai ikan buntal, mata ini terbelalak kaget. Kukembalikan isi mulutku ke gelas segera. ´´Apa ini, Dek?´´ Teriakku membahana.
Ia tersenyum disana, luwes, ayu, bikin ngilu melihatnya. ´´Itu air rebusan brontowali, Mas. Tadi dikasih tetangga buat ngebunuh malaria, tambah lagi ya?´´ Tanyanya tanpa dosa.
BH, 26112014
Sambil mendengarkan orang-orang ribut nonton final copa Brasil round-2
Sambil mendengarkan orang-orang ribut nonton final copa Brasil round-2
No comments:
Post a Comment