Saya baru saja pulang dari gereja.
Dua ipar saya mengikuti kemping akhir pekan yang diadakan gereja, dan malam ini adalah penjemputan. Well, sebenarnya tidak ada niatan ikut, meskipun sudah ditawari ibu sedari pagi.
Diam di rumah, ngecek tulisan peserta event, segelas teh hangat dan mungkin, mengolah sesuatu dengan tahu yang saya eksekusi kemarin bakal lebih menyenangkan. Maksudku, apa sih yang tidak menyenangkan dengan stay calm at home when you are alone? Tapi, tentu saja sesuatu terjadi dan mengakibatkan saya pergi. Yup, matlis sodara-sodara. Matlis disaat saya sedang merencanakan pertapaan.
Gelap gulita. Jadilah saya pergi ke rumah ibu dan menyetujui ikut. Daripada stay di rumah gelap-gelapan. Sendirian.
Bem vindo para igreja! Ini kali pertama saya. Sebenarnya dulu sekali ada tetangga yang mengajak saya, tapi karena sesuatu terjadi dan beliau urung menjemput, maka rencana seminggu itupun gatot. Begitu saja. Nah, jadi ini kali pertama. Gereja ini didominasi biru, saya suka. Dibandingkan yang terlihat antik di pusat kota yang berwarna merah bata. Tak ada hiasan patung-patung seperti di kapel rumah sakit, orang-orang yang datang juga terlihat cantik dan menawan. Mm, mungkin karena the power of make up dan efek lampu. Hahahihi. (Peace)
Awalnya biasa saja (seperti lagu), orang-orang tersenyum dan saling menyapa, berpelukan, menepuk punggung, bagian ini terasa seperti pasar (hehehe). Ibu menarik saya, menyapa beberapa orang, dan mencari kursi ‘gesan duduk.
Oke. Oke.
Dalam pikiran kecil saya, acara penjemputan itu adalah ....
Engkau memarkir mobilmu, berkumpul di depan gereja dengan semua keluarga penjemput, saling menubruk rebutan memeluk keluarga masing-masing ketika peserta kemping turun dari bus. Menyapa basa-basi, berfoto ria, membawa barang bawaan mereka ke mobil, antri keluar dari parkiran, lalu pulang. That’s all.
Olala …. Ternyata ibu mencari tempat duduk.
Mmm, mungkin akan ada sedikit khutbah sebelum peserta kemping datang. Lalu kami akan berdiri dan bertepuk tangan saat mereka turun dari bus. Lari kepada keluarga masing-masing, saling berpelukan, sedikit khutbah lagi untuk penyambutan, membawa barang bawaan, mencari mobil, lalu pulang. Oke. Not bad at all.
Ketika ibu menemukan deretan kursi kosong untuk kami, duduk dan melihat ke depan. Jantung saya mulai kejang. Tanpa pemanasan.
Itu dia.
Biasanya ketika sore menjelang malam naik bus. Sepanjang jalan kepala kecil saya bisa melihat podium-podium di depan gereja (altar kah?) adalah lantai yang lebih tinggi dari deretan kursi dijajarkan. Digunakan sebagai wadah mimbar dan pastur berkhotbah. Juga, instrument musik.
Yap. Hanya dengan melihat instrument musik saya jadi was-was dan jantung mulai berdebaran.
Awalnya duluuuuuu sekali, saat saya kelas 3 SMP. Ada konser musik di sebuah walimahan tetangga sedesa saya. Konser-konser semacam ini, selain menghibur tamu undangan juga sebagai refreshing mata dan penat penduduk desa. Bayangkan daerah tanpa listrik, lalu ada cahaya lampu dan musik berisik (yang tidak saban bulan ada), tentu saja seperti gula menarik semut.
Selesai isya, saya berdua dengan teman saya ketika berkunjung ke sana. 200 meter sebelum TKP, saat saya sadar … tidak bisa melanjutkan rencana. Bas berdentum keras, dan musik yang super memekakkan telinga menghancurkan image cool saya, jantung saya, telinga saya. Tidak bisa bertahan, lalu pulang. Sejak saat itu, saya sadar sekali, tidak bisa berteman dengan musik. Mendengarkan dalam batas wajar it’s oke. Dua menit lima menit (dan tidak 100 desibel, hanya suara via hp/laptop).
Saat SMA kemudian kuliah menjadi lebih worse. Bunyi alarm yang berulang, tetangga memetik gitar dengan melodi yang sama, membuat jantung saya demikian padat dan meledak dalam bentuk tangis. Hanya karena musik. Hanya musik.
Lalu, instrument yang memenuhi altar gereja pada acara penjemputan ini?
“Apakah mereka akan memainkan musik dan bernyanyi?” Olala, pertanyaan bodoh apa ini?
Ibu menatap saya beberapa detik, “Tentu, Umi.”
Nah, ini mulai terlihat bagus. Efeknya tidak baik. Kaki saya mulai gemetaran. Kemudian beberapa lelaki muda mulai mengetes sound system. Wah, kenapa secepat ini? Saya harus segera menyelesaikan masalah saya.
“Mmm, sesungguhnya saya tidak suka musik, Re.” Re adalah ipar saya yang lain. Setidaknya saya harus curhat sedikit, “membuat jantung saya berdebar dan sakit. Apakah saya boleh keluar ketika mereka mulai bermain?”
Oke, oke. Itu hamper terlalu berani. Ya ampun, tak bisakah kau lebih menghormati, at least keluargamu. Tapi, jantungku cuma satu. Hohoh (ini tidak terlintas tadi).
Hmm, tatapannya sangat tidak percaya, juga mengatakan semoga tidak terjadi.
Ketika band di podium siap, sepenggal puisi dibacakan penyanyi utama, dan orang-orang berdiri. Ibu menoleh kepada saya dan meminta saya duduk tenang. Oke, saya ingin tenang, saya ingin bertahan. Mungkin sebuah lagu/doa tak kan lama. Mungkin 4-6 menit. jadi, saya tetap di sana ketika musik menghentak dan mendobrak imun saya. Keringat dingin, jantung sesak dan berdetak amat kencang (seperti yang saya alami ba’da marathon 5 km dulu sekali), kaki … kaki saya paralyzed. Bukan milik saya lagi, ia bergerak sendiri, dalam ritme yang membuat saya takut. Oke, mungkin menutup telinga akan membantu … tetapi hal tersebut tidak sopan, dan bisa menyinggung perasaan orang lain. Mmm, musik beralih temp melambat dan saya berpikir kan segera berakhir.
Tak ada jeda, saat seorang pemuda berlari dari barisan belakang dengan (sejenis) rapp. Drum mengikuti irama rappnya. Bagus. Bagus sekali.
Ini adalah musik bervolume sangat keras saya dengarkan setelah sekian lama. Entahlah kapan terakhir kali. Lambung saya mulai bereaksi dan beberapa kali … tanda vomita. Saya harus rela menyadari, saya menyerah.
Itu adalah (kurang dari) setengah jam yang melolosi kontrol saya terhadap kondisi tubuh. Menyelipkan diri melewati barisan kursi, saya keluar. Menggigil, berdebar, bergetar, muntah, dan air mata begitu saja melewati kelopak mata saya. Hey! Di mana petugas imigrasi yang berjaga di sana?
Ternyata ibu mengejar saya. Ada dialog singkat.
Beliau mengerti. Menerima permohonan maaf saya karena tidak bisa bertahan lebih lama. Ini indah. Mengizinkan saya pulang. Ya, musiknya terlalu keras. Beliau setuju. Dan akan lebih keras lagi saat peserta kemping datang. Wow. Sekarang masih pukul tujuh, dan kemungkinan sampai pukul sepuluh nanti.
Look, siapa yang bakal bertahan? Maksudku, bagaimana saya bertahan, sampai pukul sepuluh. Ya ampun.
It was a nice walk. Gereja demi gereja dengan musik berdentum saya lewati. Di ujung gang sebelum belok ke rumah, ada sebuah gereja sepi dengan jamaah yang sepi (maksud saya tanpa musik dan tidak terlihat instrument musik di altarnya), ingin sekali saya mampir lalu bertanya di mana alat musik mereka? Ah, mungkin kapan-kapan.
Jika ada yang mempunyai sympthon mirip saya, an berhasil melewati dengan baik. Sila sharing, saya akan sangat terbantu. Terima kasih.
#Umi_Ayyash
Dua ipar saya mengikuti kemping akhir pekan yang diadakan gereja, dan malam ini adalah penjemputan. Well, sebenarnya tidak ada niatan ikut, meskipun sudah ditawari ibu sedari pagi.
Diam di rumah, ngecek tulisan peserta event, segelas teh hangat dan mungkin, mengolah sesuatu dengan tahu yang saya eksekusi kemarin bakal lebih menyenangkan. Maksudku, apa sih yang tidak menyenangkan dengan stay calm at home when you are alone? Tapi, tentu saja sesuatu terjadi dan mengakibatkan saya pergi. Yup, matlis sodara-sodara. Matlis disaat saya sedang merencanakan pertapaan.
Menjemput Via www.tcdsb.org |
Bem vindo para igreja! Ini kali pertama saya. Sebenarnya dulu sekali ada tetangga yang mengajak saya, tapi karena sesuatu terjadi dan beliau urung menjemput, maka rencana seminggu itupun gatot. Begitu saja. Nah, jadi ini kali pertama. Gereja ini didominasi biru, saya suka. Dibandingkan yang terlihat antik di pusat kota yang berwarna merah bata. Tak ada hiasan patung-patung seperti di kapel rumah sakit, orang-orang yang datang juga terlihat cantik dan menawan. Mm, mungkin karena the power of make up dan efek lampu. Hahahihi. (Peace)
Awalnya biasa saja (seperti lagu), orang-orang tersenyum dan saling menyapa, berpelukan, menepuk punggung, bagian ini terasa seperti pasar (hehehe). Ibu menarik saya, menyapa beberapa orang, dan mencari kursi ‘gesan duduk.
Oke. Oke.
Dalam pikiran kecil saya, acara penjemputan itu adalah ....
Engkau memarkir mobilmu, berkumpul di depan gereja dengan semua keluarga penjemput, saling menubruk rebutan memeluk keluarga masing-masing ketika peserta kemping turun dari bus. Menyapa basa-basi, berfoto ria, membawa barang bawaan mereka ke mobil, antri keluar dari parkiran, lalu pulang. That’s all.
Olala …. Ternyata ibu mencari tempat duduk.
Mmm, mungkin akan ada sedikit khutbah sebelum peserta kemping datang. Lalu kami akan berdiri dan bertepuk tangan saat mereka turun dari bus. Lari kepada keluarga masing-masing, saling berpelukan, sedikit khutbah lagi untuk penyambutan, membawa barang bawaan, mencari mobil, lalu pulang. Oke. Not bad at all.
Ketika ibu menemukan deretan kursi kosong untuk kami, duduk dan melihat ke depan. Jantung saya mulai kejang. Tanpa pemanasan.
Itu dia.
Biasanya ketika sore menjelang malam naik bus. Sepanjang jalan kepala kecil saya bisa melihat podium-podium di depan gereja (altar kah?) adalah lantai yang lebih tinggi dari deretan kursi dijajarkan. Digunakan sebagai wadah mimbar dan pastur berkhotbah. Juga, instrument musik.
Yap. Hanya dengan melihat instrument musik saya jadi was-was dan jantung mulai berdebaran.
Awalnya duluuuuuu sekali, saat saya kelas 3 SMP. Ada konser musik di sebuah walimahan tetangga sedesa saya. Konser-konser semacam ini, selain menghibur tamu undangan juga sebagai refreshing mata dan penat penduduk desa. Bayangkan daerah tanpa listrik, lalu ada cahaya lampu dan musik berisik (yang tidak saban bulan ada), tentu saja seperti gula menarik semut.
Selesai isya, saya berdua dengan teman saya ketika berkunjung ke sana. 200 meter sebelum TKP, saat saya sadar … tidak bisa melanjutkan rencana. Bas berdentum keras, dan musik yang super memekakkan telinga menghancurkan image cool saya, jantung saya, telinga saya. Tidak bisa bertahan, lalu pulang. Sejak saat itu, saya sadar sekali, tidak bisa berteman dengan musik. Mendengarkan dalam batas wajar it’s oke. Dua menit lima menit (dan tidak 100 desibel, hanya suara via hp/laptop).
Saat SMA kemudian kuliah menjadi lebih worse. Bunyi alarm yang berulang, tetangga memetik gitar dengan melodi yang sama, membuat jantung saya demikian padat dan meledak dalam bentuk tangis. Hanya karena musik. Hanya musik.
Lalu, instrument yang memenuhi altar gereja pada acara penjemputan ini?
“Apakah mereka akan memainkan musik dan bernyanyi?” Olala, pertanyaan bodoh apa ini?
Ibu menatap saya beberapa detik, “Tentu, Umi.”
Nah, ini mulai terlihat bagus. Efeknya tidak baik. Kaki saya mulai gemetaran. Kemudian beberapa lelaki muda mulai mengetes sound system. Wah, kenapa secepat ini? Saya harus segera menyelesaikan masalah saya.
“Mmm, sesungguhnya saya tidak suka musik, Re.” Re adalah ipar saya yang lain. Setidaknya saya harus curhat sedikit, “membuat jantung saya berdebar dan sakit. Apakah saya boleh keluar ketika mereka mulai bermain?”
Oke, oke. Itu hamper terlalu berani. Ya ampun, tak bisakah kau lebih menghormati, at least keluargamu. Tapi, jantungku cuma satu. Hohoh (ini tidak terlintas tadi).
Hmm, tatapannya sangat tidak percaya, juga mengatakan semoga tidak terjadi.
Ketika band di podium siap, sepenggal puisi dibacakan penyanyi utama, dan orang-orang berdiri. Ibu menoleh kepada saya dan meminta saya duduk tenang. Oke, saya ingin tenang, saya ingin bertahan. Mungkin sebuah lagu/doa tak kan lama. Mungkin 4-6 menit. jadi, saya tetap di sana ketika musik menghentak dan mendobrak imun saya. Keringat dingin, jantung sesak dan berdetak amat kencang (seperti yang saya alami ba’da marathon 5 km dulu sekali), kaki … kaki saya paralyzed. Bukan milik saya lagi, ia bergerak sendiri, dalam ritme yang membuat saya takut. Oke, mungkin menutup telinga akan membantu … tetapi hal tersebut tidak sopan, dan bisa menyinggung perasaan orang lain. Mmm, musik beralih temp melambat dan saya berpikir kan segera berakhir.
Tak ada jeda, saat seorang pemuda berlari dari barisan belakang dengan (sejenis) rapp. Drum mengikuti irama rappnya. Bagus. Bagus sekali.
Ini adalah musik bervolume sangat keras saya dengarkan setelah sekian lama. Entahlah kapan terakhir kali. Lambung saya mulai bereaksi dan beberapa kali … tanda vomita. Saya harus rela menyadari, saya menyerah.
Itu adalah (kurang dari) setengah jam yang melolosi kontrol saya terhadap kondisi tubuh. Menyelipkan diri melewati barisan kursi, saya keluar. Menggigil, berdebar, bergetar, muntah, dan air mata begitu saja melewati kelopak mata saya. Hey! Di mana petugas imigrasi yang berjaga di sana?
Ternyata ibu mengejar saya. Ada dialog singkat.
Beliau mengerti. Menerima permohonan maaf saya karena tidak bisa bertahan lebih lama. Ini indah. Mengizinkan saya pulang. Ya, musiknya terlalu keras. Beliau setuju. Dan akan lebih keras lagi saat peserta kemping datang. Wow. Sekarang masih pukul tujuh, dan kemungkinan sampai pukul sepuluh nanti.
Look, siapa yang bakal bertahan? Maksudku, bagaimana saya bertahan, sampai pukul sepuluh. Ya ampun.
It was a nice walk. Gereja demi gereja dengan musik berdentum saya lewati. Di ujung gang sebelum belok ke rumah, ada sebuah gereja sepi dengan jamaah yang sepi (maksud saya tanpa musik dan tidak terlihat instrument musik di altarnya), ingin sekali saya mampir lalu bertanya di mana alat musik mereka? Ah, mungkin kapan-kapan.
Jika ada yang mempunyai sympthon mirip saya, an berhasil melewati dengan baik. Sila sharing, saya akan sangat terbantu. Terima kasih.
#Umi_Ayyash
No comments:
Post a Comment