Artikel ini membahas tentang diskriminasi di Indonesia. Ditulis berdasarkan judul berita utama di sosial media beberapa waktu lalu.
Pernikahan Mas Bayu dan Uni Jen
“Wah benar-benar kejatuhan bulan dari langit.”
“Bukan termasuk kisah pungguk merindukan bulan. Karena Mas Bayu dapat bulannya.”
“Tom Cruise dan Aliando bakal nangis kejer!” Komentar Mr. X di sebuah portal berita.
“Orang barat menikahi WNI karena cinta. Cewek sini cari bule karena mereka kaya, t’rus bisa keliling dunia dan memperbaiki keturunan.” Komentar ini langsung kena strap para Ibu bersuami bule yang membuat pagar betis bareng.
“Cinta tak kenal warna kulit,” ucap yang lain.
Dan ajian pamungkas, “Kalau jodoh nggak ke mana.”
Pokoknya komentarnya macam-macam. Banyak yang ‘syok’ dan iri, wajah cemberut. Mata membulat lebar menikmati ‘pemandangan tak biasa’ sambil berharap punya masa depan sama. Pipi gembung karena teriak, “Harusnya gue lebih pantes dapat Uni Jen!”
Atau yang ikhlas dan turut berbahagia. Lalu, mendoakan mereka. Karena menurut beberapa portal berita, Mas bayu wajahnya biasa saja dan di aminkan banyak pembaca.
Kejadian ini mengingatkan saya pada beragam bentuk diskriminasi di Indonesia. Bah! Memang ada? Indonésia, dimana warga dengan kulit berwarna dan wajah biasa menjadi warga kelas dua.
Para gadisnya suka sekali main hom pi pa. Bukan mencari siapa yang berjaga untuk petak umpet. Tapi, mencari siapa yang kulitnya paling ‘cerah bersinar’ ala iklan korporasi. Makanya biasanya para gadis rela merogoh kantong hingga dalam (termasuk kantong orang tua) demi ambisi memutihkan diri. Bahkan memakai lotion dengan kandungan mercury. Instan ... tapi ... ada kanker kulit menanti. Belum masalah rambut. Betapa jelek pandangan orang-orang melihat rambut ‘keriwil’ ala mie. Di sekolah di bully. Dalam ajang pencarian jodoh disingkiri pencari.
Tuh, diskriminasi.
Lahir dengan wajah rata-rata di Indonesia itu sakit saat mencari kerja. Bagaimana tidak? Yang dicari selalu yang “Berpenampilan menarik” padahal ‘menarik’ ala Indonesia itu mesti cantik, putih, mulus, tinggi, belum menikah pula. Manusia berwarna dan wajah rata-rata otomatis terdepak dari bursa pencari kerja. Seperti kasir, teller, resepsionis, bintang film/iklan, polisi, pembawa berita, atau pramugari.
Tak tanggung-tanggung pelamar diberi syarat tinggi badan minimal, bahkan berat badan kecatut juga. Jiah!
Berapa banyak penumpang muda yang ingin cuci mata dengan melihat pramugari wanita? Beberapa orang bahkan memilih maskapai bukan karena layanannya, tapi ... maskapai mana yang punya pramugari paling ‘aduhai’, kata seorang blogger curhat di blognya.
Ternyata manusia Indonesia (kebanyakan) masih lamur hanya masalah fisik semata. Kecantikan dan kegantengan masih memiliki nilai jual tinggi.
Apakah ini hanya di Indonesia atau ada Negara lainnya yang bernasib sama? Have no idea!
Negara yang kutempati tak begini. Pramugari setengah baya, bodi pun tak sebagus biola, beliau cakap saja. Kasir supermarket warna-warni. Dari kulit hitam sampai yang kelebihan berat badan banyak didapati.
Anak-anak berkulit cokelat latin lalu lalang. Pasangan hitam putih menghiasi jalan-jalan. Imbauan pemerintah untuk gosok gigi pun berkulit warna-warni. Tempelan di rumah sakit, iklan kartu perdana. Selalu dihiasi dengan kulit beda warna. Bahkan cover brosur universitas tercanggih kota ini dihiasi wajah kulit hitam. Teller dengan umur setengah abad, penyiar berita yang terlalu tua.
Hhh.
Sedih ingat negeri sendiri.
**
Kawan-kawan terima kasih sudah membaca.
Hanya serangkaian pikiran acak.
Silahkan beri saran ide lagi. Pastinya masih banyak jenis diskriminasi yang terlewati. Agar tulisan ini bisa saya perbaiki.
Belo Horizonte, 100815 2212
Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan meninggalkan komentar untuk bertanya, diskusi, maupun ktitik saran untuk perbaikan konten blog ini.
Pernikahan Mas Bayu dan Uni Jen
“Wah benar-benar kejatuhan bulan dari langit.”
“Bukan termasuk kisah pungguk merindukan bulan. Karena Mas Bayu dapat bulannya.”
“Tom Cruise dan Aliando bakal nangis kejer!” Komentar Mr. X di sebuah portal berita.
“Orang barat menikahi WNI karena cinta. Cewek sini cari bule karena mereka kaya, t’rus bisa keliling dunia dan memperbaiki keturunan.” Komentar ini langsung kena strap para Ibu bersuami bule yang membuat pagar betis bareng.
“Cinta tak kenal warna kulit,” ucap yang lain.
Dan ajian pamungkas, “Kalau jodoh nggak ke mana.”
Diskriminasi di Indonesia |
Pokoknya komentarnya macam-macam. Banyak yang ‘syok’ dan iri, wajah cemberut. Mata membulat lebar menikmati ‘pemandangan tak biasa’ sambil berharap punya masa depan sama. Pipi gembung karena teriak, “Harusnya gue lebih pantes dapat Uni Jen!”
Atau yang ikhlas dan turut berbahagia. Lalu, mendoakan mereka. Karena menurut beberapa portal berita, Mas bayu wajahnya biasa saja dan di aminkan banyak pembaca.
Kejadian ini mengingatkan saya pada beragam bentuk diskriminasi di Indonesia. Bah! Memang ada? Indonésia, dimana warga dengan kulit berwarna dan wajah biasa menjadi warga kelas dua.
Para gadisnya suka sekali main hom pi pa. Bukan mencari siapa yang berjaga untuk petak umpet. Tapi, mencari siapa yang kulitnya paling ‘cerah bersinar’ ala iklan korporasi. Makanya biasanya para gadis rela merogoh kantong hingga dalam (termasuk kantong orang tua) demi ambisi memutihkan diri. Bahkan memakai lotion dengan kandungan mercury. Instan ... tapi ... ada kanker kulit menanti. Belum masalah rambut. Betapa jelek pandangan orang-orang melihat rambut ‘keriwil’ ala mie. Di sekolah di bully. Dalam ajang pencarian jodoh disingkiri pencari.
Tuh, diskriminasi.
Lahir dengan wajah rata-rata di Indonesia itu sakit saat mencari kerja. Bagaimana tidak? Yang dicari selalu yang “Berpenampilan menarik” padahal ‘menarik’ ala Indonesia itu mesti cantik, putih, mulus, tinggi, belum menikah pula. Manusia berwarna dan wajah rata-rata otomatis terdepak dari bursa pencari kerja. Seperti kasir, teller, resepsionis, bintang film/iklan, polisi, pembawa berita, atau pramugari.
Tak tanggung-tanggung pelamar diberi syarat tinggi badan minimal, bahkan berat badan kecatut juga. Jiah!
Berapa banyak penumpang muda yang ingin cuci mata dengan melihat pramugari wanita? Beberapa orang bahkan memilih maskapai bukan karena layanannya, tapi ... maskapai mana yang punya pramugari paling ‘aduhai’, kata seorang blogger curhat di blognya.
Ternyata manusia Indonesia (kebanyakan) masih lamur hanya masalah fisik semata. Kecantikan dan kegantengan masih memiliki nilai jual tinggi.
Apakah ini hanya di Indonesia atau ada Negara lainnya yang bernasib sama? Have no idea!
Negara yang kutempati tak begini. Pramugari setengah baya, bodi pun tak sebagus biola, beliau cakap saja. Kasir supermarket warna-warni. Dari kulit hitam sampai yang kelebihan berat badan banyak didapati.
Anak-anak berkulit cokelat latin lalu lalang. Pasangan hitam putih menghiasi jalan-jalan. Imbauan pemerintah untuk gosok gigi pun berkulit warna-warni. Tempelan di rumah sakit, iklan kartu perdana. Selalu dihiasi dengan kulit beda warna. Bahkan cover brosur universitas tercanggih kota ini dihiasi wajah kulit hitam. Teller dengan umur setengah abad, penyiar berita yang terlalu tua.
Hhh.
Sedih ingat negeri sendiri.
**
Kawan-kawan terima kasih sudah membaca.
Hanya serangkaian pikiran acak.
Silahkan beri saran ide lagi. Pastinya masih banyak jenis diskriminasi yang terlewati. Agar tulisan ini bisa saya perbaiki.
Belo Horizonte, 100815 2212
Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan meninggalkan komentar untuk bertanya, diskusi, maupun ktitik saran untuk perbaikan konten blog ini.
No comments:
Post a Comment