Telah tertoreh noda-noda kekalahan. Titik-titik hitam
dosa. Maka bersyukurlah saya karena Allah menutup aib saya demikian rapat. Jika
tidak begitu, mungkin tak ada arah untuk menoleh tanpa membuat saya malu, lalu
mengubur diri dalam-dalam.
Jauh dari kumpulan teman-teman yang kokoh berislam
seharusnya membuat saya sadar, agar selalu in
touch dengan mereka. Pelampung dan tali yang terentang tak begitu panjang,
tak mampu menjangkau jarak yang sengaja saya rentang. Saya meninggalkan mereka,
lalu menapaki dunia sunyi sendiri.
Awalnya ada rasa bangga dan kemenangan, entah siapa
yang mengajar saya begitu. Ternyata konsekuensinya begitu ngeri. Jika ‘kumpulan’
serupa awan dan hujan yang menaungi dan memberi kehidupan, berlepas diri dari
mereka laksana kemarau. Gersang.
Mungkin saya bisa menyibukkan diri. Saya belajar bahasa,
memasak, memperhatikan orang-orang. Ternyata tak cukup. Kemarau ini semakin nyata. Sementara hujan menjadi
fatamorgana. Saya bisa melihat mereka di kejauhan padang pasir, berjalan menuju
mereka demikian payah, amat berpeluh, kemudian nihil. Sakit. Demikian jauh saya
tertinggal.
Saya sedih sekaligus nelangsa.
Dunia bergerak, dan saya masih limbung dalam
tempurung. Menatap kubah melengkung nan
gelap tak bertepi. Menutupi segala horizon pandangan. Saya ingin mendobrak
hancur, keluar meski terhuyung, meski silau, meski linglung (sebentar saja,
harapan saya), lalu saya bisa tegak berdiri, siap menghadapi apapun yang menanti.
Saya perlu pegangan. Saya perlu kekuatan.
Saya merasa demikian lemah, saya akui. Terlalu lama
saya bergerak sendiri. Alam mengajarkan kita betapa powerful-nya persatuan,
tim, kumpulan. Dari kecil saya belajar tentang sapu lidi. Betapa tak berguna sebatang
lidi, tapi begitu segengam, dua genggam lidi diikat bersama, mereka bisa
membersihkan halaman luas, berkali-kali, ribuan kali. Saya belajar tentang tim,
saat melihat angsa-angsa bermigrasi. Ketika sekelompok angsa terbang dengan formasi
segi tiga, membagi aliran udara di antara mereka. Tujuan menjadi lebih cepat
dicapai, lelah perjalanan bisa diminimalisir. Saya belajar dari ikan yang
mematahkan jaring kapal, karena mereka bergerak bersama.
Ya, alam mengajarkan saya tentang powerful-nya tim.
Hanya saja saya melengos tak tertarik. Kini setelah tertatih sendiri, saya
menjadi kecil hati.
Saya pernah begitu berapi memberbaiki lingkungan saya.
Sendiri. Saya menjadi tak
berarti. Perlu begitu banyak orang,
perlu tim dengan persamaan pandangan, dengan satu visi ke depan.
Mungkin ada teman-teman yang saat ini terpuruk. Merasa
sangat jauh tertinggal. Seperti saya.
"Ini saatnya bangkit, memegang erat tujuan. Memperbarui langkah-langkah kita. Memulai lagi perjalanan.
Dekati orang-orang yang mempunyai tujuan sama. Agar kita punya tempat bertanya.
Jangan hirau pada lingkungan lama kita, meski mereka mengajakmu kembali, meski mencemooh dengan keji.
Mantapkan hati. Kita berani.
Tetap semangat dan berdo’a.
ا م ی
Ìbirite, 9 November 2015
Terima kasih sudah berkunjung. Silahkan meninggalkan komentar untuk bertanya, diskusi, maupun ktitik saran untuk perbaikan konten blog ini.
No comments:
Post a Comment