Saturday, October 11, 2014

Buku Kecil Terkunci (1)

Matanya terang, menyala, ceria. Rambutnya basah, wajahnya segar sekali dan senyum kekanak-kanakanya muncul. Mengingatkanku tahun-tahun masa kecil kami bermain bersama di teras ini,
Ndak usah masuk lah Mbak, tadi Ibu sudah pesan biar cepat pulang. Ngantar ke pasar gitu
Aku mengangguk, bude Ti aku memanggilnya, wajah keibuan yang selalu ceria. Bekerja di sawah yang sama setiap hari, beruntung itu adalah sawah milik sendiri, bayangkan jika mereka mengerjakan sawah orang lain, tentu wajahnya kan berbeda. Paruh hasil mengerjakan sawah atau kebun disini 4:1. Menyedihkan memang tapi itulah nyatanya, kadang tak tega aku melihat mereka yang bekerja setiap hari hanya mendapat seserpih di penghujung panen. Padi maupun sayur-mayur. Aku diam ngelantur, ada yang tak beres melihat senyumnya. Terlalu gembira, ada sesuatu yang disembunyikannya.
Kapan balik ke kota? Tanyaku sekedarnya. Dia kesini sringnya Cuma untuk pamit, lagi.
Meninggalkanku. Meninggalkan teras rumah ini, yang bertahun-tahun jadi saksi kebersamaan kami.
Belum tahu yang itu, Mbak. Sepertinya bakal lama disini.
Ia tersenyum lagi. Duh, kenapa ada sesuatu yang berat menerpa hatiku? Angin apakah gerangan yang lewat barusan. Seperti Ada biru kelam di mata itu. Ia tak lagi seperti dulu.
Apa kamu sudah selese kuliah tho, Dek? Denger-denger kamu mau lanjut S2 dimana gitu, kok malah pulang lama betul?
Kalau nggak salah dia sudah pulang empat bulan yang lalu, terlalu lama untuk seorang mahasiswa. Menurutku, toh aku tak tahu pasti, apa yang mereka lakukan sebenarnya. Belajar? Ya. Mungkin saja, atau berubah.  Tetanggaku yang lain, Mbak Siti, pulang ke rumah setelah wisuda. Ya, beliau wisuda. Tapi semua tak sama, baju-bajunya berubah. Ia sering memakai baju-baju ´artis´ kayak di TV, kerudung mungilnya yang dulu di pakai pás SMA lepas entah kemana.
- Nanti itu Mbak, mau bantu Ibu dulu. Saya sudah daftar kemaren memang. Tapi ya itu, belum di panggil-panggil karena sambil ngurus beasiswa.
- Oohh..
Mbak, nggak mau ke kota, kah? Di ajak dari dulu nggak mau…
- Siapa bilang?
Suaraku meninggi,
Gini-gini Mbak sudah sampai bromo, gunung kidul, malah sudah sampai Toraja segala. Kamu ini, mentang-mentang kuliah terus tinggal disana. Ngira aku udik gitu?? Aku udah lewat ke kotamu, dua hari buat nggembel sama temen-temen. Kamu tak telepon malah kata Bude Ti nomormu ganti
Yoh, yang itu jangan di ingat-ingat lah Mbak, malu aku.
Ia tertawa geli, sepertinya mengingat kejadian itu. Aku pernah ke kota tempat studinya dulu, ingin sekali menyeretnya ke tempat-tempat yang pernah di ceritakan. Tempat makan favoritnya, tempat nongkrong kalau lagi tak beruang, katanya. Tapi nomornya ganti, aku bareng temen-temen yang udik buanget itu (maksudnya nggak tahu peta pun area) jadinya Cuma jalan-jalan di sekitar losmen kami. Nggak punya pemandu. Salahku, tak memberitahunya dulu. Saat pulang lagi, Bude Ti bilang kalau dia sudah ganti nomor karena hp-nya hilang, belakangan aku tahu bahkan kita bias mendapat nomor baru lagi.
Aku punya kabar gembira loo mbak…. Senyumnya menjelma. Oooh, jadi init ho alasan dia senyam-senyum nggak masuk akal dari tadi.
- Opo iku, Dek?
Ia bertampang serius sekarang.
Aku ini sudah besar, Mbak. Tahu kan?
Ya iyalah tahu, sekarang sudah lulus S1. Nggak mau masuk kamarku lagi, malu katanya. Dulu pas kecil kami menggambar dinding kamarku bareng-bareng pakai krayon dan cat minyak sampai bapak marah-marah
Iyoo,, terus??
- Anu Mbak, kayaknya nanti Ibu minta Mbak sama Bude Pakde bantu-bantu di rumah
Aku tertegun
- Loh, ono opo tho Dek? Bude Ti punya gawe kah? Ramen-ramen gitu? Mau tanam padi opo? Kan belum musim
- Iku Mbak, adekmu ini mau nikah.. sekitar tiga minggu lagi. Aku sudah besar ló Mbak, -dia tersenyum simpul Malu-malu
Slerrrrppp. Angin berhenti
Aku mau Mbak tahu langsung, sambil ngundang datang gitu sama Pakde Bude juga, nanti kalau pakai undangan nggak elok. Tapi aku bawa undangan juga kok. –ia mengeluarkan kertas bersampul plastik dari dalam baju. Buat Mbak yang pertama dapat pokoknya. Mbakku paling special lah.
Apakah aku mendengarnya cukup jelas, dengan lesu ku terima kertas itu. Kertas ini, memotong harapan-harapanku kala memandang langit-langit kamar. Bertahun-tahun setelah kami berpisah dari masa kecil, aku mengingatnya bagai hantu. Dengan jelas menyambangiku tiap hari. Berbagi permen atau krayon setiap hari. Mengerjakan PR bersama, ke sekolah dengan dia memboncengku di sepeda, sebuah romantisme sederhana akan keceriaan masa muda. Aku mengingatnya selalu, ku lantunkan do´a Agar setiap dia pulang dari kota kiranya kami bisa bermain seperti dulu kala, atau harapanku, mengingatku sebagai seorang wanita. Aku ingin dia memintaku. Mintalah apapun, akan kukabulkan semuanya. Tak terasa, mata ini meleleh, air mata ini terlihat. Akankah dia peka?
Mbak kok malah nangis tho?
Aku aku.. (kutatap ia, berusaha menggilas semua kenangan bagai hantu tanpa bayangan) aku seneng tho Dek. (dustaku, membuatnya tersenyum)
- Kalau gitu, aku mau pulang dulu Mbak. Pokoknya kalau nanti Pakde Bude tahu undangan ini terus tanya maçam-macam, panggil aku aja Mbak. Besok aku mau kesini lagi.
Ia bersalaman denganku, yang kusambut dengan senyum paling bernafsu Agar terlihat gembira pula. Ia menghilang disana. Di pagar hijau depan rumah, yang dulu ia pula ikut menanamnya. Aku mematung disini. Ingat dua hantu kecil berkeliaran di sekitar rumah ini. Ia bahagia. Ia bahagia. Ulangku bagai mantra.
Aku menunggunya di setiap tahun ia muncul, mengabarkan keadaan Bude Ti, dan teman-temannya. Selalu, setiap muncul aku selalu menanyakan Hal yang sama, berulang-ulang. Mungkin dia bosan.
- Kamu tahunan di kota, sudah lupa sama aku. Sudah punya pacar tho?
Enggak pernah punya Mbak. Aku serius belajar sama kerja paruh waktu. Kata Ibu, ndak boleh punya pacar itu. Nanti siap-siap kalau mau nikah saja baru boleh.
Dia anak ibunya. Dia penurut. Dia, disetiap jawabannya memberiku harapan meski mengawang. Aku? Bodoh nian aku. Aku menjanjikan diri sendiri di sebuah buku yang punya kunci, aku akan menunggunya. Aku mencintai bayangan kami dan kekinian. Ia tumbuh besar, aku juga. Berharap Hal-hal yang sama terjadi. Dusta! Kini. Ia akan lari, meninggalkanku. Ada aura gelap yang kurasakan, hatiku beku. Membatu. Atau remuk redam.

No comments:

Post a Comment